LAMDASAN
FILOSOFIS
1.
Makna, Fungsi, dan Prinsip-prinsip Filosofis Bimbingan
Konseling
Ø Kata filosofis atau filsafat berasal dari bahasa
Yunani (filosopia/philosophia): Philos berarti cinta dan sophos berarti
bijaksana, jadi filosofis berarti kecintaan terhadap kebijaksanaan. Sikun
pribadi (1981) mengartikan filsafat sebagai suatu “usaha manusia untuk
memperoleh pandangan atau konsepsi tentang segala yang ada, dan apa makna hidup
manusia dialam semesta ini”.
Filsafat mempunyai fungsi dalam kehidupan manusia, yaitu bahwa :
v Setiap manusia harus mengambil keputusan atau
tindakan,
v Keputusan yang diambil adalah keputusan diri sendiri
v Dengan berfilsafat dapat mengurangi salah paham dan
konflik, dan
v Untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan dunia yang
selalu berubah.
Makna dan fungsi filsafat dalam kaitanya dengan
layanan bimbingan dan konseling, Prayitno dan Erman Amti mengemukakan pendapat
Belkin (1975) yaitu bahwa, “Pelayanan
bimbingan dan konseling meliputi kegiatan atau tindakan yang semuanya
diharapkan merupakan tidakan yang bijaksana”.
John
J. Pietrofesa (1980: 30-31) mengemukakan terdapat beberapa prinsip yang
berkaitan dengan landasan filosofis dalam bimbingan, yaitu :
• Objective Viewing.
• The Counselor must have the best interest of the
client at heart.
John
J. Pietrofesa et.al. (1980) mengemukakan pendapat James Cribbin tentang
prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan sebagai berikut :
v Bimbingan hendaknya didasarkan pada pengakuan akan
keilmuan dan harga diri individu (klien) dan atas hak-haknya untuk mendapat
bantuan.
v Bimbingan
merupakan proses pendidikan yang berkesinambungan. Artinya bimbingan merupakan
bagian integral dalam pendidikan.
v Bimbingan harus respek terhadap hak-hak setiap klien
yang meminta bantuan atau pelayanan.
v Bimbingan bukan prerogratif kelompok khusus profesi
kesehatan mental. Bimbingan dilaaksanakan melalui kerjasama, yang masing-masing
bekerja berdasarkan keahlian atau kompetensinya sendiri.
v Fokus bimbingan adalah membantu individu dalam
merealisasikan potensi dirinya.
v Bimbingan merupakan elemen pendidikan yang bersifat
individualisasi, personalisasi dan sosialisasi.
2. Hakikat
Manusia
Viktor E.Frankl (Prayitno dan Erman
Amti, dalam Yusuf, 2010) mengemukakan bahwa hakikat manusia itu sebagai berikut
:
- Manusia, selain memiliki dimensi fisik dan psikologis, juga memiliki dimensi spiritual. Melalui dimensi spiritualnya itulah manusia mampu mencapai hal-hal yang berada di luar dirinya dan mewujudkan ide-idenya.
- Manusia adalah unik, dalam arti bahwa manusia mengarahkan kehidupannya sendiri.
- Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu sendiri.
Sigmund
Freud mengemukakan sebagai berikut:
- Manusia pada dasarnya bersifat pesimistis, deserministik, mekanistik, dan reduksionistik.
- Manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak sadar, dorongan-dorongan biologis, dan pengalaman masa kecil.
- Dinammika kepribadian berlangsung melalui pembagian enerji psikis kepada Id, Ego dan Superego yang bersifat saling mendominasi.
- Manusia memiliki naluri-naluri seksual (libido seksual) dan agresif, naluri kehidupan (eros) dan kematian (tanatos).
- Manusia bertingkah laku dideterminasi oleh hasrat memperoleh kesenangan dan menghindari rasa sakit (pleasure principle).
Passons (Robert L.Gibson dan Marianne H. Mitchel,
1986: 121) mengemukakan delapan asumsi tentang hakikat manusia menurut kerangka
kerja teori konseling Gestalt yang dikembangkan oleh Frederick Perls
(1884-1970) sebagai berikut :
v Individu memiliki kepribadian yang utuh, menyeluruh,
bukan terdiri dari bagian-bagian badan, emosi, pikiran, sensasi, dan persepsi.
Individu dapat dipahami apabila dilihat dari keterpaduan semua bagian-bagian
tersebut.
v Individu
merupakan bagian dari lingkungannya. Oleh karena itu individu baru dapat
dipahami apabila memperhatikan konteks lingkungannya.
v Individu memilih bagaimana dia merespon rangsangan
internal maupun eksternal. Individu adalah aktor bukan reaktor.
v Individu kemampuan potensial untuk menyadari secara penuh
semua sensasi, pikiran, emosi, dan persepsinya.
v Individu memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan,
sebab dia menyadarinya.
v Individu memiliki kapasitas untuk membangun
kehidupannya secara efektif.
v Individu tidak dapat mengalami masa lalu dan masa yang
akan datang, tetapi dia hanya dapat mengalami masa sekarang.
v Individu pada dasarnya tidak dapat dikatakan baik atau
buruk.
Beck
(Blocher, 1974) dalam yusuf, 2010 mengemukakan beberapa asumsi eksistensialis
tentang hakikat manusia, yaitu sebagai berikut:
ü Manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya
sendiri. Dia punya pilihan dan harus melakukan pilihan untuk dirinya sendiri.
ü Manusia harus memandang atau memperhatikan orang lain
sebagai bagian dari dirinya, dan perhatiannya ini direfleksikan dalam pergaulan
dengan warga masyarakat yang lebih luas.
ü Manusia eksis di duni nyata, dan hubungan dengan
dunianya di satu sisi merupakan ancaman yang dalam banyak hal tidak dapat
merubahnya.
ü Hidup yang bermakna harus menghilang ancaman yang
dihadapi, baik fisik maupun psikis. Tujuannya adalah untuk membebaskan manusia
dari ancaman, sehingga dapat mencapai perkembangan yang optimum.
ü Setiap manusia memiliki pembawaan dan pengalaman yang
unik, sehingga memungkinkan berperilaku yang berbeda satu sama lainnya.
ü Manusia berperilaku sesuai dengan pandangan
subjektifnya tentang realitas.
ü Secara alami manusia tidak dapat dikatakan “baik” atau
“buruk” (jahat).
B.F
Skinner dan Watson (Gerald Corey, terjemahan E. Koeswara, 1988) mengemukakan
tentang hakikat manusia sebagai berikut :
ü Manusia dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan
positif dan negatif yang sama.
ü Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh
lingkungan social budayanya. Dalam arti bahwa lingkungan merupakan pembentuk
utama keberadaan manusia.
ü Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari.
ü Manusia tidak memiliki kemampuan untuk membentuk
nasibnya sendiri.
Beck
(Blocher, 1974) dalam yusuf, 2010 mengemukakan beberapa asumsi eksistensialis
tentang hakikat manusia, yaitu sebagai berikut
ü Manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya
sendiri. Dia punya pilihan dan harus melakukan pilihan untuk dirinya sendiri.
ü Manusia harus memandang atau memperhatikan orang lain
sebagai bagian dari dirinya, dan perhatiannya ini direfleksikan dalam pergaulan
dengan warga masyarakat yang lebih luas.
ü Manusia eksis di duni nyata, dan hubungan dengan
dunianya di satu sisi merupakan ancaman yang dalam banyak hal tidak dapat
merubahnya.
ü Hidup yang bermakna harus menghilang ancaman yang
dihadapi, baik fisik maupun psikis. Tujuannya adalah untuk membebaskan manusia
dari ancaman, sehingga dapat mencapai perkembangan yang optimum.
ü Setiap manusia memiliki pembawaan dan pengalaman yang
unik, sehingga memungkinkan berperilaku yang berbeda satu sama lainnya.
ü Manusia berperilaku sesuai dengan pandangan
subjektifnya tentang realitas.
ü Secara alami manusia tidak dapat dikatakan “baik” atau
“buruk” (jahat).
B.F
Skinner dan Watson (Gerald Corey, terjemahan E. Koeswara, 1988) mengemukakan
tentang hakikat manusia sebagai berikut :
ü Manusia dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan
positif dan negatif yang sama.
ü Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh
lingkungan social budayanya. Dalam arti bahwa lingkungan merupakan pembentuk
utama keberadaan manusia.
ü Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari.
ü Manusia tidak memiliki kemampuan untuk membentuk
nasibnya sendiri.
Albert
Ellis penggagas terapi rasional-emotif berpendapat bahwa hakikat manusia adalah
:
v Manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir
rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat.
v Manusia memiliki kecenderungan untuk memelihara diri,
berbahagia, berpikir, mencintai, bergabung dengan orag lain, serta tumbuh dan
mengaktualisasikan diri.
v Manusia juga memiliki kecenderungan ke arah
menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali
kesalahan secara tak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme,
mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri.
v Manusia dilahirkan dengan kecwenderungan untuk
mendesakkan pemenuhan keinginan, tuntutan, hasrat dan kebutuhan dalam dirinya,
jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya manusia mempersalahkan
dirinya sendiri ataupu orang lain.
v Manusia berpikir, beremosi dan bertindak secara
simultan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan-perasaan
biasanya dicetuskan oleh persepsi atas sesuatu situasi yang spesifik.
Aliran
Humanistik memiliki pandangan yang optimistik terhadap hakikat manusia. Para
ahli teori humanistik mempunyai keyakinan sebagai berikut :
- Manusia memiliki dorongan bawaan untuk mengembangkan diri.
- Manusia memiliki kebebasan untuk merancang atau mengembangkan tingkah lakunya, yang dalam hal ini manusia bukan poin yang diatur sepenuhnya oleh lingkungan.
- Manusia adalah makhluk rasional dan sadar , tidak dikuasai oleh ketidaksadaran, kebutuhan irrasional atau konflik.
3. Tujuan dan Tugas Kehidupan
v Prayitno dan Erman (dalam yusuf, 2010) mengemukakan
model witney sweeney tentang kebahagiaan dan kesejahteraan hidup serta upaya
mengembangkan dan mempertahankannya sepanjang hayat. Menurut mereka ciri-ciri
hidup sehat ditandai dengan 5 kategori tugas kehidupan, yaitu:
Ø Spiritualitas:
Agama sebagai sumber inti bagi hidup sehat Dimensi dari aspek
spiritual adalah; kemampuan manusia memberikan arti kepada
kehidupannya.
Ø Pengaturan diri: Seseorang
yang mengamalkan hidup sehat pada dirinya.
Ø Bekerja: Dengan
bekerja orang akan memperoleh keuntungan
ekonomis, psikologis ( percaya diri, merasa berguna ),
dan sosial ( tempat bertemu
orang lain, persahabatan, dan status
) kesemuanya akan menunjang kehidupan yang sehat bagi diri sendiri dan orang
lain.
Ø Persahabatan : merupakan
hubungan sosial baik individu maupaun masyarakat secara luas.
Ø Cinta : Dengan
cinta hubungan seseorang dengan orang lain cenderung
menjadi sangat intim, saling mempercayai, saling
terbuka, saling bekerjasama, dan saling
memberikan komitmen yang kuat.
Pancasila
sebagai landasan bimbingan dan konseling mempunyai implikasi sebagai berikut:
1.
Tujuan bimbingan dan konseling harus selaras dan sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap sila pancasila. Dengan demikian tujuan bimbingan dan
konseling adalah memfasilitasi peserta didik agar mampu ;
(1) mengembangkan potensi, fitrah dan jati dirinya
sebagai makhluk Tuhan Yang maha Esa dengan cara mengimani, memahami dan
mengamalkan ajaranNya.
(2) mengembangkan sikap-sikap yang positif seperti
respek terhadap harkat dan martabat sendiri dan orang lain, dan bersikap
empati.
(3) mengembangkan sikap-sikap kooperatif, kolaboratif,
toleransi dan altruis (ta’awun bil ma’ruf)
(4) mengembagkan sikap demokratis, menghargai pendapat
orang lain, dan bersikap mengayomi masyarakat.
(5). Mengembangkan kesadaran untuk membangun bangsa
dan negara yang sejahtera dan berkeadilan dalam berbagai aspek kehidupan
(ekonomi, hukum, pendidikan, dan pekerjaan).
2.
Konselor seyogyanya menampilkan kualitas pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai
pancasila, yaitu beriman dan bertaqwa, bersikap respek terhadap orang lain, mau
bekerja sama dengan orang lain. Bersikap demokratis, dan bersikap adil terhadap
para siswa.
3.
Perlu melakukan penataan lingkungan (fisik dan sosial budaya) yang mendukung
twrwujudnya nilai-nilai pancasila dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat
pada umumnya. Upaya itu diantaranya:
(1) menata kehidupan lingkungan yang hijau berbunga,
bersih dari polusi
(2)
mencegah dan memberantas kriminalitas
(3) menghentikan tayangan televisi yang merusak nilai
pancasila, seperti tayangan yang merusak akidah, moral masyarakat
(4) mengontrol secara ketat penjualan alat kontrasepsi
(5) memberantas korupsi dan melakukan clean
government.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar